Oleh: Pandu Yuhsina Adaba
“Permintaan dan pemenuhan terangkai dalam sebuah rantai makanan. Semua akan termakan dalam rantai makanan itu” (Menangisi Akhir Pekan; Jenny)
Jenny, sebuah Band indie dari kota Yogyakarta dengan album debutnya bertajuk “Manifesto” bagi saya adalah sebuah fenomena unik dalam perjalanan seni di Yogyakarta. Banyak orang mengatakan mereka adalah Copycatnya The Strokes. Dalam beberapa hal memang ada kemiripan pola aransemen maupun sound. Jenny sendiri mungkin tidak menyangkal bahwa mereka memang terinsirasi gaya bermusik The Strokes, sebuah kejujuran dalam bermusik. Band yang digawangi 4 orang anak muda ini menyuguhkan lirik-lirik bertema kritik sosial dengan balutan musik berdistorsi sedang dan crunchy. Menyimak koleksi mereka seakan-akan mendapatkan suasana lain ditengah derasnya alunan nada-nada minor melayu bertema cinta ala Kangen Band, Armada, Hijau Daun, Vagetoz yang membanjiri industri musik tanah air. Demam Boyband dan Girl-Band semacam Smash, XoIX, 7icons, CherryBelle, dan pengikutnya juga menimbulkan kejengahan tersendiri bagi penikmat musik Indonesia yang kritis dan membenci Lipsynk. Munculnya Jenny bagi saya merupakan antithesis dari Trend musik tanah air yang semakin menye-menye.
Mengapa mesti Jenny? Pertanyaan itu mungkin muncul manakala membahas sebuah band yang popularitasnya bisa dikatakan kalah jika dibandingkan dengan Band sekelas Slank, Ungu, Peterpan, atau GIGI. Justru karena itu Jenny menjadi penting untuk disinggung. Band yang dimotori oleh Farid Stevyasta (Vocalist, Penulis Lagu) ini berbeda dengan mainstream pemusik saat ini. Beda dalam artian Tema, aransemen, dan gaya hidup. Mengawinkan lirik bertema kritik sosial dengan nada-nada sudah tentu bukan perkara mudah, apalagi mempopulerkannya dan membuatnya nikmat di telinga pendengar. Ketika banyak seniman bersuara lantang menyuarakan anti pembajakan, Jeny tidak semerta-merta latah. Sebuah hal yang unik ketika Jenny justru menganjurkan penggemarnya untuk mendownload lagu mereka di Internet secara gratis. Single berjudul “Hari Terakhir Peradaban” bahkan disediakan di Blog Jenny (http://www.jennytemanpencerita.blogspot.com/) untuk diunduh secara gratis oleh siapa saja yang ingin menikmatinya.
Album Manifesto; Debut Jenny dalam berorasi
“Sebuah manifesto nyalakan postmodernism. Bungkam para arogan, terjang para ideal. Segalanya sudah ditemukan, semuanya telah didefinisikan. Ais sisanya ditanah, susun lagi di tanganmu. Tak ada lagi kebaruan, semua kata pernah dikalimatkan. Pilih sisanya di udara, ucapkan lagi di mulutmu. Tak ada yang baru dibawah matahari. Katakan sesuatu yang baru dari dalam isi kepalamu”. (Manifesto Postmodernisme; Jenny)
Album “Manifesto” dirilis pada tahun 2009. Sepuluh lagu dalam album ini oleh Farid sang vokalis disebut “Hampir Rock”. Album ini bercerita banyak hal yang merupakan sindiran bagi kehidupan sosial saat ini. Kejengahan terhadap pilihan-pilihan yang telah tersedia sehingga menihilkan munculnya pemikiran alternatif dikemas dalam hentakan beat yang cepat dalam lagu “Manifesto Postmodernisme”. Lagu ini bercerita tentang tertutupnya pintu bagi pemikiran-pemikiran baru karena hampir-hampir semua hal telah pernah didefinisikan.
Lagu “Menangisi Akhir Pekan” dan “Monster Karaoke” sedikit bernuansa Marxis. Cerita tentang kehidupan para pekerja yang teralienasi merayakan akhir pekan dengan “cairan pendosa” (Mungkin Minuman Keras) dan “asap di hela nafas” (Mungkin adalah menghisap rokok) dikemas dalam kombinasi kord yang sederhana namun penuh ornamen. Dalam “Monster Karaoke” Jenny juga menyorot alienasi manusia yang dipaksa berteman dengan “perangkat digital” sehingga “playlist andalan” menjadi “ayat dalam doa”.
Lagu yang paling populer dari Jenny di album manifesto berjudul “Mati Muda”. Hampir di tiap konser, lagu ini memancing paduan suara dari penonton. Dengan durasi sekitar 5 menit, intro lagu di depan sudah diawali suara feedback dari ampli gitar yang berdengung, dan itu memang dibiarkan (biasanya feedback dihilangkan karena dianggap noise). Intro sekitar satu menit itu terbilang panjang untuk ukuran sebuah lagu biasa, namun bagi saya justru lewat itulah Jenny berusaha membangun suasana mistis yang suram. Pesimisme kepada jaman disuarakan dengan gaya malas-malasan. Pada lagu itu mereka bicara bahwa “Nyala tak akan terlalu lama” karena “Padam akan datang lebih segera”. Pada bagian akhir, lagu ini memberikan saran yang ekstrim yaitu “Hidup tak perlu terlalu lama jika dosa yang berkuasa”.
Lewat lirik-lirik lagu dalam Album ini Jenny mempertunjukkan bahwa daya kreasi seni jika dikawinkan dengan referensi sosial bisa menghasilkan karya yang baik. Sebailknya, melalui karya seni, sebuah pemikiran atau gagasan tertentu ternyata bisa dituangkan lewat lagu. Tentu relatif jika membicarakan mengenai baik-buruknya sebuah karya seni. Maka dari itu, dalam menilai lagu-lagu di Album “Manifesto”, saya menggunakan indikator kerumitan teknik yang digunakan dan muatan lirik.
Bagi seorang yang paham teknik memainkan alat musik, lagu-lagu Jenny memang secara umum sederhana. Nada-nada dasar yang digunakan tidak terlalu banyak. Hal ini bukan berarti lagu-lagu itu bisa dengan mudah dimainkan. Lagu “Monster Karaoke” misalnya. Lagu itu menggunakan 2 Kord dasar yaitu E dan C. Cukup simpel, namun ornamen gitar yang dimainkan Robbie (Gitarist) lumayan rumit. Dia menggunakan teknik harmonic fingering (menyentuh senar dengan jari mengambang sehingga menghasilkan suara lengking) secara cerdas. Pada enam bar bagian akhir lagu, dia menerapkan tiga ornamen yang berbeda tiap dua Bar. Empat bar pertama menggunakan patern yang mirip, namun dimainkan dalam kecepatan yang variatif. Dua Bar terakhir diisi dengan teknik bending ala gitaris blues/rock n roll dengan suara yang menyayat. Aransemen cerdas bermodalkan kord E dan C.
Lagu “Hujan Mata Pisau” menggunakan kord G, E dan C dengan variasi perpindahan yang sederhana. Jenny mengemasnya dengan kord-kord kecil tiga senar dan permainan bass yang tidak mengikuti kord dasarnya. Saya mendalami teknik permainan gitar sejak tahuin 1999, dan saya bagi saya, Lagu Hujan Mata Pisau adalah lagu dengan aransemen yang sangat unik dan rumit.
Itulah Jenny. Bagi saya mereka ibarat oase di tengah gurun pasir. Mengobati kerinduan saya akan sebuah karya musik yang “berkualitas” ditengah membanjirnya musik pop yang “asal genjreng”. Kini setelah ditinggalkan 2 personelnya, Jenny berganti nama menjadi Festivalist. Mari kita tunggu karya-karya mereka selanjutnya.