Citra Sederhana Pejabat Negara

Oleh Purnawan Setyo Adi

Akhir-akhir ini, berbagai media cetak maupun online nasional, ramai mengangkat berita mengenai pejabat tinggi Negara yang berpola hidup sederhana. Umumnya pola sederhana tersebut dilihat dari kemauan mereka untuk menggunakan fasilitas publik yang disediakan oleh Negara. Seperti naik KRL saat pergi ke kantor. Berita yang tak kalah santer selanjutnya adalah adanya pejabat publik yang berani untuk menggunakan produk karya anak negeri untuk kemudian dijadikan fasilitas sehari-hari. ini tentunya patut diapresiasi. Ditengah kehidupan Negara yang minim sosok panutan dan inspiratif, paling tidak masih ada yang bisa berusaha untuk menjadi sosok tersebut.

Namun, agaknya kita tidak perlu terbuai terlalu berlebihan. Pola hidup sederhana adalah sebuah pilihan bukan keterpaksaan. Konsistensi hidup sederhana para pejabat Negara perlu diuji. Sebelum akhirnya layak disebut sebagai panutan. Sayangnya proses pengujian tersebut dilalui lewat jalan yang panjang. Tak hanya satu dua kasus yang mencerminkan kesederhanaan, lantas kita terpesona dengan hal tersebut. selama jalannya pemerintahan sedari Republik ini berdiri, pelajaran utama yang harus kita petik adalah jangan mudah percaya terhadap apa yang ditampilkan oleh para pejabat Negara. Sudah selayaknya kita harus mengkritisi terus-menerus fenomena kehidupan bernegara.

Sebenarnya, agak risih ketika teman-teman saya, memuji secara bertubi-tubi terhadap para pejabat Negara yang mau menggunakan KRL, berpakaian sederhana, dll. Bagi saya pujian tersebut bersifat klise. Karena hanya dilihat dari satu-dua kasus yang bombastis tentang tampilan pola hidup mereka yang sederhana. kita tidak bisa menilai kemana keberpihakan pejabat Negara hanya dari tampilan semata. Sudah selayaknya para pejabat Negara mau menggunakan fasilitas publik. Bukan sesuatu yang luar biasa, dan juga tidak dapat dinilai sebagai sesuatu yang ideologis.

Kita harus ingat, Mahatma Gandhi telah mengajari kita dengan gerakan Swadeshinya. Konsistensi beliau menggunakan produk sendiri adalah pilihan ideologis guna melawan ideologi kolonial. Dan tentunya Mahatma Gandhi tidak hanya sekali-dua kali menggunakan produk tersebut sebagai pilihan pola hidup sederhana. Sehingga, sekali lagi saya mencatat bahwa konsistensi amat diperlukan guna meyakini kita apakah para pejabat Negara tersebut menjalani kesederahaan sebagai sebuah pilhan ataukah keterpaksaan demi pencitraan yang dibangun di mata masyarakat.

Konsistensi dapat dilihat dari menyatunya pikiran, perkataan, dan perbuatan. Perilaku, gaya hidup, dan juga pengambilan posisi politik dan kebijakan jangan dilupakan. konsistensi tidak hanya dibangun dalam jangka waktu yang pendek, melainkan jangka waktu yang sangat panjang. Untuk itu kita perlu terus memantau, mengkritisi, dan jangan cepat terbuai.

*catatan ini terinspirasi dari Kultwit yang dikirim oleh Arie Dwipayana, Dosen JIPP, FISIPOL UGM

Follow Your Idol

Oleh: Pandu Yuhsina Adaba

Dalam sebuah diskusi masalah kepemudaan yang diselenggarakan Kemenpora bekerjasama dengan LIPI saya berkata “Bagaimana mungkin kita berharap akan  muncul generasi muda yang bermental pejuang tangguh dari anak-anak muda yang visualisasi pria/wanita ideal adalah Smash dan 7icons?”. Bukan bermaksud mendiskreditkan Smash ataupun 7icons. Saya hanya sedang berpikir bahwa generasi muda masa kini telah kehilangan sosok ideal untuk diidolakan. Sosok idola kini diciptakan melalui logika Industri yang orientasinya adalah mencari keuntungan finasial. Bukan lagi sosok-sosok transformatif yang mampu mendinamisasikan kehidupan bermasyarakat. Bukan lagi sosok yang berjuang mengangkat derajat hidup rakyat.

Saya pernah bertanya kepada beberapa kawan muda tentang sosok seperti apa yang mereka idolakan. Kebanyakan menyebutkan indikator-indikator “bentuk fisik”. Sungguh aneh, artinya menjadi berarti atau tidaknya seseorang bagi seseorang yang lain bergeser sedemikian rupa menjadi sebatas “bawaan lahir” yang sulit diubah kecuali dengan operasi plastik. Maka jangan heran ketika orang berlomba-lomba mempercantik atau mempertampan diri agar mirip dengan sosok yang diidolakan.  Tidaklah sepenuhnya salah melakukan perawatan terhadap tubuh, namun ketika itu telah menjadi obsesi berlebihan, tertutuplah sudah akal sehat kita.

Seorang kawan karib bernama Wahid Hasyim, Mahasiswa Filsafat UGM mengutip Barconi serta Habermas menuturkan: Peran media dalam membentuk berhala-berhala yang dipuja-puja orang sungguh besar. Dalam titik ekstrimya, kehadiran sebuah idola adalah penanda bahwa suatu masyarakat mengalami kemandegan.  Hal itu memperlihatkan kebodohan perilaku individu-individu dalam masyarakat itu. Kenapa? Karena itu memperlihatkan betapa jauhnya jarak antara harapan yang ada pada sosok idola dengan dengan kenyataan pada diri masyarakat yang mengidolakan. Pada beberapa poin saya setuju dengan pandangan Wahid. Namun saya juga berpendapat bahwa kehadiran sosok idola yang ideal sebagai strategi transfer ide-ide transformatis itu sangat perlu.

Sedikit melebar namun bahasan perlu saya kaitkan dengan konsep Antonio Gramsci tentang peran signifikan “intelektual organik” dalam mendorong perubahan sosial. Sosok intelektual organik yang menjadi idola akan sangat efektif menyuarakan ide-ide revolusioner yang akan memantik pula diskursus di tingkatan rakyat bawah yang mengidolakannya. Maka ketika si Intelektual organik dalam posisi “Ing Ngarso sung Tulodho”, perkataan serta tindakannya akan lebih :digugu lan ditiru” oleh massa. Fenomena Jokowi bisa menjadi pelajaran bagi kita. Seorang walikota yang punya ide-ide bagus, dalam posisi diidolakan rakyatnya, perkataan dan perbuatannya menjadi inspirasi banyak orang. Mungkin skema menjadi idola untuk kemudian mendorong perubahan sosial ke arah yang lebih baik bisa dicoba. Ok, Selamat mencoba!!

Inikah Akhir Cerita Negeri Beras?

radarkarawangnews.blogspot.com

Oleh Purnawan Setyo Adi

Lumbung Padi, demikianlah predikat yang dilekatkan oleh masyarakat terhadap Kabupaten Karawang. Hingga kini, sebutan tersebut masih melekat erat dengan kabupaten yang terletak dalam provinsi Jawa Barat tersebut. selain sebagai lumbung padi, sejarah mencatat bahwa kota ini juga dikenal sebagai kota pangkal perjuangan. Dan masih ingatkah kita dengan Karawang-Bekasi? Puisi karya Chairil Anwar yang tersohor? Lagi-lagi Karawang tercatat dalam sejarah bangsa ini.

Namun, dalam tulisan ini, saya tidak ingin membahas puisi karya Chairil Anwar maupun peristiwa Rengasdengklok yang dikenang dalam sejarah perjuangan bangsa. poin yang menjadi ketertarikan saya  terhadap Karawang adalah perannya sebagai kota penghasil beras dari masa ke masa. Baik sejak masa perjuangan dalam menumpas kolonial maupun paska kemerdekaan sebagai penghasil beras nomor satu di negeri ini. Sebagai awalan, sebutan lumbung padi telah dimulai sejak zaman perjuangan pasukan Sultan Agung melawan VOC pada tahun 1628 hingga 1629.

Sultan Agung adalah raja besar dari Kerajaan Mataram Islam yang memerintah pada tahun 1613-1646. Perlawanan keras Sultan Agung melawan VOC pada masa pemerintahannya merupakan catatan sejarah yang tak pernah hilang hingga kini. Sultan Agung dikenal sebagai raja yang melawan dengan keras kebijaksanaan monopoli VOC. Salah satu perlawanannya yang heroik adalah penyerbuan Sultan Agung dan Pasukannya ke Sunda Kelapa. Pusat VOC beroperasi.

Lantas dimanakah peran kota karawang pada masa itu? Mari kita tilik kembali. Karawang yang kala itu masih dipenuhi hutan dan rawa-rawa, sengaja dibuat lumbung padi oleh pasukan Sultan Agung guna mencukupi persediaan logistik bala tentara Sultan Agung. Hal ini tidaklah mengherankan, mengingat jarak antara pusat kerajaan Mataram yang terletak di Yogyakarta menuju Sunda Kelapa (Batavia) harus ditempuh selama 90 hari. Karawang dinilai mempunyai letak yang strategis. Terlebih lagi, karawang yang kala itu mempunyai tokoh berpengaruh bernama Syekh Quro, yang berasal dari Champa, sama-sama melawan keberadaan VOC. Mayoritas masyarakat Karawang saat itu adalah sebagai santri dan petani. Kedua hal ini lah yang kemudian menjadikan Karawang sebagai Lumbung Padi para pasukan Sultan Agung guna mendukung penyerangan menuju Sunda Kelapa.

Sejarah terus bergulir, begitu juga dengan perkembangan Kabupaten Karawang. Paska kemerdekaan Indonesia, Karawang berkembang menjadi Lumbung Padi Nasional. Hal ini mengingat strategisnya letak Kabupaten Karawang. Sungai Citarum mengalir melewati Kabupaten ini, begitu pula dengan adanya Waduk Jatiluhur di Purwakarta yang mampu menampung air dengan debit yang sangat besar hingga mampu mengaliri berhektar-hektar persawahan di Karawang. Hingga predikat Indonesia sebagai Negara panghasil beras pun tak luput dari peran Karawang dalam menghasilkan beras dengan jumlah yang sangat besar.

Namun, sejarah tersebut kini hanya tinggal cerita belaka. Jika melihat gejala perkembangan pembangunan Kabupaten Karawang kini kondisinya amat berbeda. Perkembangan indutri telah menggerus lahan persawahan yang dimiliki oleh Karawang. Areal sawah berubah menjadi Pabrik dan kawasan industri. Hingga para petani pun banting stir menjadi buruh pabrik. Belum lagi dengan tumbuhnya pemukiman-pemukiman baru yang mengganti areal persawahan dengan perumahan. Menurut radarkarawangnews dalam kurun waktu 18 tahun, yaitu antara tahun 1989 dan 2007, berdasarkan data dari Dinas Pertanian Karawang, alih fungsi lahan mencapai 2.578 hektar atau 135,6 hektar per tahun. Alih fungsi terbesar adalah untuk permukiman, yaitu 54 persen, dan sekitar 34 persen untuk industri. Dengan kondisi demikian, akankah ini menjadi akhir negeri beras? Semoga tidak.

Eyang Putriku adalah Guruku

Oleh: Pandu Yuhsina Adaba

Nenek saya, Samsikin AD, penulis buku “Memoar Tentang November” dan “Di Tepi Takdir”. Dialah salah satu motivator saya dalam berbagai hal. Seorang mantan kepala sekolah yang kini sehari-hari menghabiskan masa  pensiunnya dengan menulis, berkebun, dan berdakwah. Tapi saya sedang tidak ingin bercerita mengenai aktivitas dakwah maupun berkebun nenek saya. Saya akan bercerita mengenai masa di mana nenek saya menjadi guru, dan bagaimana beliau mengharmoniskan pikiran serta tindakan.

Nenek saya mulanya adalah seorang guru di desa Sidorejo, sebuah kecamatan di pedalaman Wonogiri, Jawa Tengah. Sebuah lokasi yang jauh dari tempat beliau berasal, karena nenek saya itu asli Srandakan, Bantul. Kata “Guru” bagi nenek saya berarti “digugu lan ditiru”, sanepan bahasa jawa yang artinya perkataanya dituruti, tindakannya diikuti. Itulah mengapa nenek saya berpikiran bahwa seorang guru haruslah berusaha menjadi contoh yang baik bagi muridnya, berusaha mengajar dengan bahasa yang dipahami muridnya, serta siap untuk mendidik dimanapun-kapanpun.

Panggilan “Bu Guru” dari masyarakat sekitar adalah amanah. Artinya orang-orang yang memanggil memberikan kepercayaan untuk memberikan pendidikan yang baik bagi anak-anak mereka. Tak jarang diluar jam kerja, murid-murid berdatangan untuk menanyakan sesuatu terkait pelajaran, atau bahkan tentang kehudupan sehari-hari. Itu bukanlah beban bagi nenek saya. Menurut beliau, guru tidak hanya ada di ruang kelas namun juga di kehidupan bermasyarakat.

Satu hal yang membuat saya penasaran dari beliau adalah: sepertia apa pandangannya terhadap pendidikan di masa “sertifikasi guru” ini? Nah pada suatu kesempatan, saya sempat menanyakan hal ini kepada beliau. Menurutnya, sekarang proses pendidikan sudah berkembang apalagi dengan didukung kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin canggih. Hanya saja, spirit “digugu lan ditiru” di kalangan guru malah surut. Banyak guru sekarang mengajar dilandasi motivasi material dalam artian sebatas mencari nafkah.  Tidak sepenuhnya salah karena manusia memang diwajibkan mencari nafkah, namun tentunya tidak dengan melupakan esensi dari sebutan “guru” itu sendiri. Dalam predikat guru melekat kewajiban mendidik. Dan pendidikan adalah hal yang krusial bagi maju-mundurnya suatu masyarakat. Untuk itu, seorang guru haruslah mengajar dengan spirit “mencerdaskan kehidupan bangsa”, bukan sekedar memenuhi tuntutan mencari nafkah belaka.

Seperti itulah pendapat sederhana dari nenek saya yang telah lebih dari 40 tahun menggeluti dunia pendidikan dari jaman Bung Karno hingga bergulirnya Reformasi. Mungkin sederhana atau bahkan dianggap utopis. Namun bagi saya seorang guru haruslah berpikiran seperti itu agar bisa mencetak generasi-generasi cerdas bagi bangsa ini.

Bagaimana dengan Swadhesi Saat Ini?

Oleh: Pandu Yuhsina Adaba

Menyimak tulisan lama Bung Karno dalam buku “Dibawah Bendera Revolusi” itu mengasyikan. Kita dapat melihat pemikiran-pemikiran yang berkembang di masa itu sembari membayangkan setting jaman yang mewarnai saat tulisan itu lahir. Salah satu tulisan favorit saya di buku itu adalah chapter “Swadhesi dan Massa Aksi di Indonesia”. Dengan jitu Bung Karno membuat perbandingan antara Indonesia dan India ditinjau dari asal-muasal kolonialisme yang mencengkeram keduanya. Kenapa keduanya berbeda, dan kenapa strategi untuk melawan imperialisme di kedua wilayah ini mesti berbeda. India ada di bawah cengkeraman  maskapai dagang Inggris EIC, Sementara Indonesia berada di bawah VOC, selanjutnya di bawah pemerintahan Hindia Belanda. Keduanya mempunyai asal yang berbeda sehinggah hasilnya pun berbeda.

Inggris adalah negara imperialis yang berbeda dengan Belanda. Semenjak ditemukan mesin uap dan terjadi revolusi industri, volume barang-barang produksi di Inggris membludak sehingga butuh pasaran yang luas untuk “membuang” produk-produknya. Kekayaan alam inggris cukup berlimpah terutama batu bara sehingga pasokan untuk industri mereka cenderung tidak bergantung kepada negara lain. Inilah yang membedakannya dengan Belanda dimana negeri kincir angin itu tidak punya sumber daya alam yang memadai. Produksi di Belanda tidaklah sekuat Inggris. Maka secara sederhana kita dapat melihat bahwa biaya produksi di Inggris cukup murah karena Bahan baku, bahan Bakar, dan tenaga kerja maupun mesin tersedia. Corak kapitalisme Inggris dalam berekspansi keluar negerinya bersifat mencari pasar. Lain halnya dengan Belanda, corak ekspansi kapitalismenya ke luar negeri bersifat mencari bahan baku, bahan bakar, maupun tenaga kerja murah.

Dalam tulisannya itu Bung Karno menggunakan pisau analisa Vladimir Lenin tentang imperialisme yaitu “ corak imperialisme ditentukan oleh corak kapitalisme yang melahirkannya”.Imperialisme Inggris di India memungkinkan timbulnya masyarakat yang masih cukup mempunyai daya beli. Mengapa demikian? Karena kebutuhan Inggris untuk memasarakan hasil-hasil produksiny yang membludak membutuhkan masyarakat India yang mampu membelinya. Sebaliknya di Indonesia, kebutuhan kapitalisme Belanda adalah buruh murah, dan bahan baku murah. Untuk itulah masyarakat Indonesia dibuat miskin agar tidak mempunyai pilihan lain kecuali menjual bahan baku produksi maupun tenaganya walaupun dengan harga murah kepada Belanda.

Dari analisa perbandingan itu, Bung Karno menyatakan bahwa model Swadeshi seperti yang digagas Mahatma Gandhi di India, meskipun itu bagus, namun tidak dapat diterapkan di Indonesia. Strategi Swadeshi efektif manakala didukung produksi dalam negeri dan kelas menengah dalam negeri yang kuat. India mempunyai potensi itu karena konskuensi dari strategi Imperialisme Inggris memungkinkan munculnya kelas menengah pribumi di sana. Kondisi di Indonesia lain, kelas menengah tidak muncul serta produksi dalam negeri mati akibat kebijakan-kebijakan kolonial. Strategi swadeshi tidak mempunyai aspek-aspek yang mendukung sehingga jika diterapkan justru akan menjadi bumerang bagi rakyat Indonesia.

Tulisan “Swadeshi dan Massa Aksi di Indonesia” dibuat tahun 1932, saat kondisi objektif dunia sedang dalam kondisi tumbuh kembang. Kini setelah sekitar lebih dari 170 tahun sejak tulisan itu dibuat, kondisi objektif di Indonesia berubah. Imperialisme yang bercokol bukan sekedar mencari bahan baku dan tenaga kerja murah. Kini Indonesia adalah pasar potensial dari produk-produk kapitalisme yang membludak itu. Dengan mata telanjangpun kita bisa melihat betapa membanjirnya barang-barang import di negeri ini. Pertanda bahwa daya beli masyarakat di Indonesia mulai kuat. Kelas menengah di Indonesia sudah mulai tumbuh. Selain itu produksi dalam negeri juga sudah ada. Apa yang bisa ditarik dari fenomena ini? Apakah strategi Swadeshi sudah bisa diterapkan dengan kondisi objektif seperti saat ini? Pertanyaan yang harus dijawab dengan analisa mendalam.

“Manifesto” Jenny; Cemooh terhadap Sistem Sosial Kontemporer?

Oleh: Pandu Yuhsina Adaba

“Permintaan dan pemenuhan terangkai dalam sebuah rantai makanan. Semua akan termakan dalam rantai makanan itu” (Menangisi Akhir Pekan; Jenny)

 

Jenny, sebuah Band indie dari kota Yogyakarta dengan album debutnya bertajuk “Manifesto” bagi saya adalah sebuah fenomena unik dalam perjalanan seni di Yogyakarta. Banyak orang mengatakan mereka adalah Copycatnya The Strokes. Dalam beberapa hal memang ada kemiripan pola aransemen maupun sound. Jenny sendiri mungkin tidak menyangkal bahwa mereka memang terinsirasi gaya bermusik The Strokes, sebuah kejujuran dalam bermusik. Band yang digawangi 4 orang anak muda ini menyuguhkan lirik-lirik bertema kritik sosial dengan balutan musik berdistorsi sedang dan crunchy. Menyimak koleksi mereka seakan-akan mendapatkan suasana lain ditengah derasnya alunan nada-nada minor melayu bertema cinta ala Kangen Band, Armada, Hijau Daun, Vagetoz yang membanjiri industri musik tanah air. Demam Boyband dan Girl-Band semacam Smash, XoIX, 7icons, CherryBelle, dan pengikutnya juga menimbulkan kejengahan tersendiri bagi penikmat musik Indonesia yang kritis dan membenci Lipsynk. Munculnya Jenny bagi saya merupakan antithesis dari Trend musik tanah air yang semakin menye-menye.

Mengapa mesti Jenny? Pertanyaan itu mungkin muncul manakala membahas sebuah band yang popularitasnya bisa dikatakan kalah jika dibandingkan dengan Band sekelas Slank, Ungu, Peterpan, atau GIGI. Justru karena itu Jenny menjadi penting untuk disinggung. Band yang dimotori oleh Farid Stevyasta (Vocalist, Penulis Lagu) ini berbeda dengan mainstream pemusik saat ini. Beda dalam artian Tema, aransemen, dan gaya hidup. Mengawinkan lirik bertema kritik sosial dengan nada-nada sudah tentu bukan perkara mudah, apalagi mempopulerkannya dan membuatnya nikmat di telinga pendengar. Ketika banyak seniman bersuara lantang menyuarakan anti pembajakan, Jeny tidak semerta-merta latah. Sebuah hal yang unik ketika Jenny justru menganjurkan penggemarnya untuk mendownload lagu mereka di Internet secara gratis. Single berjudul “Hari Terakhir Peradaban” bahkan disediakan di Blog Jenny (http://www.jennytemanpencerita.blogspot.com/)  untuk diunduh secara gratis oleh siapa saja yang ingin menikmatinya.

Album Manifesto; Debut Jenny dalam berorasi

“Sebuah manifesto nyalakan postmodernism. Bungkam para arogan, terjang para ideal. Segalanya sudah ditemukan, semuanya telah didefinisikan. Ais sisanya ditanah, susun lagi di tanganmu. Tak ada lagi kebaruan, semua kata pernah dikalimatkan. Pilih sisanya di udara, ucapkan lagi di mulutmu. Tak ada yang baru dibawah matahari.  Katakan sesuatu yang baru dari dalam isi kepalamu”. (Manifesto Postmodernisme; Jenny)

Album “Manifesto” dirilis pada tahun 2009. Sepuluh lagu dalam album ini oleh Farid sang vokalis disebut “Hampir Rock”. Album ini  bercerita banyak hal yang merupakan sindiran bagi kehidupan sosial saat ini.  Kejengahan terhadap pilihan-pilihan yang telah tersedia sehingga menihilkan munculnya pemikiran alternatif dikemas dalam hentakan beat yang cepat dalam lagu “Manifesto Postmodernisme”. Lagu ini bercerita tentang tertutupnya pintu bagi pemikiran-pemikiran baru karena hampir-hampir semua hal telah pernah didefinisikan.

Lagu “Menangisi Akhir Pekan” dan “Monster Karaoke” sedikit bernuansa Marxis. Cerita tentang kehidupan para pekerja yang teralienasi  merayakan akhir pekan dengan “cairan pendosa” (Mungkin Minuman Keras) dan “asap di hela nafas” (Mungkin adalah menghisap rokok) dikemas dalam kombinasi kord yang sederhana namun penuh ornamen. Dalam “Monster Karaoke” Jenny juga menyorot alienasi manusia yang dipaksa berteman dengan “perangkat digital” sehingga “playlist andalan” menjadi “ayat dalam doa”.

Lagu yang paling populer dari Jenny di album manifesto berjudul “Mati Muda”. Hampir di tiap konser, lagu ini memancing paduan suara dari penonton. Dengan durasi sekitar 5 menit, intro lagu di depan sudah diawali suara feedback dari ampli gitar yang berdengung, dan itu memang dibiarkan (biasanya feedback dihilangkan karena dianggap noise). Intro sekitar satu menit itu terbilang panjang untuk ukuran sebuah lagu biasa, namun bagi saya justru lewat itulah Jenny berusaha membangun suasana mistis yang suram. Pesimisme kepada jaman disuarakan dengan gaya malas-malasan. Pada lagu itu mereka bicara bahwa “Nyala tak akan terlalu lama” karena “Padam akan datang lebih segera”. Pada bagian akhir, lagu ini memberikan saran yang ekstrim yaitu “Hidup tak perlu terlalu lama jika dosa yang berkuasa”.

Lewat lirik-lirik lagu dalam Album ini Jenny mempertunjukkan bahwa daya kreasi seni jika dikawinkan dengan referensi sosial bisa menghasilkan karya yang baik. Sebailknya, melalui karya seni, sebuah pemikiran atau gagasan tertentu ternyata bisa dituangkan lewat lagu. Tentu relatif jika membicarakan mengenai baik-buruknya sebuah karya seni. Maka dari itu, dalam menilai lagu-lagu di  Album “Manifesto”, saya menggunakan indikator kerumitan teknik yang digunakan dan muatan lirik.

Bagi seorang yang paham teknik memainkan alat musik, lagu-lagu Jenny memang secara umum sederhana. Nada-nada dasar yang digunakan tidak terlalu banyak. Hal ini bukan berarti lagu-lagu itu bisa dengan mudah dimainkan. Lagu “Monster Karaoke” misalnya. Lagu itu menggunakan 2 Kord dasar yaitu E dan C. Cukup simpel, namun ornamen gitar yang dimainkan Robbie (Gitarist) lumayan rumit. Dia menggunakan teknik harmonic fingering (menyentuh senar dengan jari mengambang sehingga menghasilkan suara lengking) secara cerdas. Pada enam bar bagian akhir lagu, dia menerapkan tiga ornamen yang berbeda tiap dua Bar. Empat bar pertama menggunakan patern yang mirip, namun dimainkan dalam kecepatan yang variatif. Dua Bar terakhir diisi dengan teknik bending ala gitaris blues/rock n roll dengan suara yang menyayat. Aransemen cerdas bermodalkan kord E dan C.

Lagu “Hujan Mata Pisau” menggunakan kord G, E dan C dengan variasi perpindahan yang sederhana. Jenny mengemasnya dengan kord-kord kecil tiga senar dan permainan bass yang tidak mengikuti kord dasarnya. Saya mendalami teknik permainan gitar sejak tahuin 1999, dan saya bagi saya, Lagu Hujan Mata Pisau adalah lagu dengan aransemen yang sangat unik dan rumit.

Itulah Jenny. Bagi saya mereka ibarat oase di tengah gurun pasir. Mengobati kerinduan saya akan sebuah karya musik yang “berkualitas” ditengah membanjirnya musik pop yang “asal genjreng”. Kini setelah ditinggalkan 2 personelnya, Jenny berganti nama menjadi Festivalist. Mari kita tunggu karya-karya mereka selanjutnya.

Belajar dari Konflik Sape

Oleh: Pandu Yuhsina Adaba

Aksi pemblokiran Pelabuhan Sape bulan Desember 2011 di Kabupeten Bima, Nusa  Tenggara Barat sudah menewaskan beberapa korban. Aksi yang dipicu penolakan warga terhadap keberadaan Tambang emas di Kecamatan Lambu ini melumpuhkan aktivitas pelabuhan selama berhari-hari. Aksi solidaritas bermunculan di berbagai daerah seperti di Ibukota kabupaten Bima, di Makasar, di Maluku, bahkan di Batam. Muncul kecaman terhadap kebrutalan tindakan represif aparat kepolisian dalam menangani massa demonstran di Sape. Opini bahwa aparat tidak mengayomi masyarakat semakin menguat karena peristiwa Sape ini terjadi tidak lama setelah publik dihebohkan oleh beredarnya video rekaman kekerasan aparat terhadap petani-petani di Mesuji, Lampung.

Penolakan tambang Lambu yang berujung kerusuhan sebenarnya bukan kali pertama terjadi di Sape. Pertengahan Maret tahun 2011, di Lambu sendiri terjadi demonstrasi besar yang berujung aksi kekerasan. Beberapa warga terkena tembakan peluru tajam dari aparat keamanan. Massa yang kalap membakar kantor kecamatan Lambu. Bulan Mei 2010, KOMNASHAM mengujungi Lambu untuk melakukan investigasi terkait kasus itu. Respon dari hasil investigasi itu sampai saat ini belum jelas. Tiba-tiba muncul kerusuhan dengan motivasi yang sama hanya saja terjadi di lokasi yang berbeda, yaitu di Sape, sebuah kecamatan yang bersebelahan dengan Lambu.

Tentu penting untuk memahami kekhawatiran masyarakat Lambu terhadap keberadaan tambang yang dioperasikan oleh PT Sumber Mineral Nusantara itu. Lokasi tambang yang dimaksud adalah sebuah perbukitan, yang diatasnya terdapat sumber air. Mayoritas warga dari 13 desa sekitar perbukitan itu adalah petani. Bagi mereka sumber air di perbukitan itu sangat penting dijaga karena pasokan air untuk lahan pertanian mereka tidak boleh rusak. Ancaman terhadap sumber air adalah ancaman terhadap kelangsungan hidup mereka. Ini bukan semata-mata persoalan sosialisasi ijin tambang yang tidak optimal seperti yang dipermasalahkan elit-elit lokal di sana. Sosialisasi keberadaan tambang memang pernah dilakukan walaupun tidak efektif menyentuh seluruh warga, namun permasalahannya adalah pada kepentingan warga sekitar lokasi tambang. Tersosialiasi atau tidak, pada dasarnya warga menolak keberadaan tambang itu.

Seringkali alasan yang muncul ketika sebuah ijin usaha pertambangan dikeluarkan adalah untuk meningkatkan pendapatan daerah, memacu pertumbuhan ekonomi, dan pada akhirnya mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Apa yang terjadi di Bima tidak sesederhana itu. Data Dinas Pertambangan dan Energi (DISTAMBEN) Kabupaten Bima menyatakan bahwa wilayah itu sangat kaya potensi pertambangan. Tidak kurang dari 14.000 hektar wilayah di Bima mengandung bahan galian yang potensial. Lebih dari 15 perusahaan Tambang beroperasi disana, dan itu termasuk beberapa perusahaan internasional. Seharusnya masyarakat Bima sejahtera. Kenyataanya, BPS menyatakan lebih dari separuh atau sekitar 63% masyarakat Bima hidup di bawah garis kemiskinan. Bisa dikatakan keberadaan tambang tidak berkorelasi positif dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Masyarakat Lambu telah belajar dari kejadian Teluk Buyat. Dari para aktivis mahasiswa mereka mengetahui kerusakan lingkungan yang diakibatkan aktivitas pertambangan. Mereka belajar tentang marginalisasi petani-petani yang tergusur akibat lahannya dijadikan lokasi tambang. Bagi penguasa, aktivisme mahasiswa yang berusaha mencerahkan dan melindungi masyarakat kecil itu justru dianggap provokasi. Penguasa cenderung berpihak kepada pemilik modal daripada rakyatnya sendiri. Kecenderungan itulah yang menyebabkan mereka bisa dengan brutal melakukan tindakan represif ketika rakyat sedang mempertahankan mata pencahariaanya dari ancaman kepentingan pemodal besar. Kasus Mesuji dan Freeport memperlihatkan dengan jelas bahwa aparat justru mengayomi kepentingan perusahaan, bukan masyarakat.

Ijin pertambangan adalah keputusan yang sah dari sebuah institusi yang mempunyai legitimasi untuk mengeluarkan keputusan itu. Dalam hal ini, aparat kepolisian sebagai bagian dari alat kelengkapan pemerintah memang berkewajiban mengawal keputusan yang sah dari pemerintah, termasuk ijin pertambangan. Maka dari itu, ketika rakyat berkonflik dengan suatu perusahaan yang sudah mengantongi ijin dari pemerintah, aparat menjadi berkewajiban melindungi aset-aset perusahaan sebagai konskuensi menjadi bagian dari alat kelengkapan pemerintah yang telah mengeluarkan ijin. Masalahnya apakah ketika ijin dikeluarkan, apakah telah benar-benar mempertimbangkan kepentingan masyarakat? Jika sudah, tentunya penolakan tidak akan muncul. Apabila muncul penolakan, tentu ada sesuatu yang tidak beres pada proses keluarnya perijinan.

Inilah bukti bahwa pemerintah, dalam hal ini Pemerintah Daerah Bima, tidak memperhatikan kepentingan masyarakat dalam mengeluarkan ijin tambang. Tanggal 28 April 2010, Bupati menandatangani 15 ijin tambang. Sebuah hal yang janggal terutama jika dikaitkan dengan moment pemilukada. Keluarnya  15 ijin itu terjadi dua bulan menjelang pemilukada dimana sang incumbent mencalonkan diri kembali sebagai kepala daerah. Ridha Saleh dari KOMNASHAM menyebutkan bahwa sudah lazim terjadi para incumbent yang maju dalam pilkada menggunakan kesempatan dan wewenang untuk memenangkan proses pemilihan. Obral ijin tambang bisa dilakukan sebagai strategi mengumpulkan dana pemenangan Pemilukada. Celakanya hanya demi mendanai nafsu untuk berkuasa, kepentingan rakyat dikorbankan. Aspek sosiokultural masyarakat di sekitar wilayah lokasi tambang tidak dijadikan bahan pertimbangan dalam memproses perijinan. Inilah salah satu faktor yang jadi pangkal permasalahan dari banyak kasus konflik rakyat dengan perusahaan pertambangan.

 

Betulkah Negara Absen??

Oleh Pandu Yuhsina Adaba

Negara Absen?

Belum begitu lama Anies Baswedan, Rektor Universitas Paramadina menyebut negara absen dalam menangani kekerasan antar umat beragama. Pernyataan itu terlontar ketika menanggapi terjadinya kasus kekerasan yang terjadi di Pandeglang dan Temanggung[1]. Banyak orang mengamini pendapat Anies. Pastur Benny Susetyo menyebutkan hal yang sama ketika berbicara mengenai pemancungan Ruyati, seorang TKI yang dituduh membunuh majikannya di Arab Saudi. KONTRAS juga tak ketinggalan, mengangap ketidakhadiran negara menjadi biang keladi munculnya kelompok-kelompok radikal yang sering mengganggu ketertiban umum.

Benarkah negara absen? Dalam beberapa hal memang seolah negara melakukan pembiaran terhadap permasalahan-permasalahan yang muncul. Terkesan lepas tangan, tau tapi tidak mau tau. Dan ketika masalah mencuat, keluarlah pidato-pidato yang bernada keprihatinan. Tapi kenyataannya, masalah cenderung tidak selesai, malahan semakin menumpuk. Satu masalah muncul kemudian menjadi polemik, direspon dengan keprihatinan, kemudian muncul masalah baru saat masalah yang pertama belum selesai. Masyarakat kemudian serta merta beralih fokus kepada masalah yang baru. Masalah lama yang belum terselesaikan cenderung dilupakan. Tidak selesai karena negara absen. Benarkah negara memang absen, atau absennya negara itu justru bagian dari kegiatan negara itu sendiri?

Negara Berperan?

Meleburnya kekuasaan keuangan, industri, dan birokrasi adalah ciri dari kapitalisme[2]. Inilah penjelasan yang cukup ekstrim mengapa negara terlihat bukan sekedar absen, namun justru berperan aktif menekan rakyat demi kepentingan korporasi. Tak begitu lama setelah dinyatakan absen, negara malah ketahuan berperan menindas petani-petaninya sendiri di Mesuji, Lampung[3]. Persis seperti dikatakan Lenin: Imperialisme akan menggunakan tentara lokal untuk menjaga kepentingannya[4]. Petani-petani lahannya digusur oleh perusahaan asal malaysia yang bergerak di bidang kelapa sawit. Mereka melawan, dan perusahaan memberikan intimidasi lewat tim pengamanan yang dibentuk dari penduduk pribumi. Strategi adu domba antar pribumi/ Aparat cenderung berpihak pada perusahaan dalam konflik ini. Nujum Lenin beberapa puluh tahun yang lalu nyatanya masih jitu.

Negara menjadi alat kaum pemodal. Sesederhana itu itu Lenin menjelaskan peran negara di alam kapitalisme tingkat lanjut. Mengapa demikian? Karena aparat-aparat negara itu hidup dari rente atas kapitalisme yang beroperasi di wilayahnya. Dia memfungsikan diri menjadi pelindung modal itu, melegalisasi tindakannya, dan menyediakan kondisi yang kondusif bagi bekerjanya modal secara efektif. Atas itu semua, aparat akan mendapat sekian persen dari keuntungan pemodal. Lenin mensitir ide Marx tentang penggunaan aparat negara oleh kaum pemodal dengan tepat. Namun ada sesuatu yang mengganjal dari Lenin. Solusi yang ditawarkannya adalah merebut kekuasaan negara untuk kemudian menjadikannya lebih pro kepada kepentingan masyarakat. Apakah solusi ini relevan? Marilah kita renungkan kembali..


[1] Anies Baswedan, “Negara Absen Terhadap Kekerasan”, http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/nasional/11/02/09/163273-anies-baswedan-negara-absen-terhadap-kekerasan, diakses 16 Desember 2011.

[2] Ken Budha Kusumandaru, “Memperkenalkan Konsep Lenin Tentang Imperialisme”, Jurnal Demokrasi Vol II, 2004.

[4] Lenin VI, “Imperialism: The Highest Stage Of Capitalism”, FLPH Peking, 1970.

Harga Sebuah Kematian

Oleh: Pandu Yuhsina Adaba

Guru ngajiku di langgar bukanlah seorang Kyai Khos, Cuma “ulama kampung” yang tidak pernah merasa dirinya sendiri adalah Ulama. Sekarang beliau sudah almarhum. Sudah meninggal sekitar 3 tahun yang lalu. Tiba-tiba saya ingat almarhum ketika membaca berita mengenai peristiwa bakar diri seorang mahasiswa di depan istana negara.  Saya dan Almarhum pernah ngobrol santai mengenai kematian. Orang bisa mati dengan berbagai cara. Sakit, kecelakaan, tua, dibunuh, bunuh diri, tenggelam, dan berbagai jalan kematian itu. Kami kemudian meracau soal harga kematian ditinjau dari cara meninggalnya maupun motivasinya. Memang janggal berbicara mengenai “motivasi untuk mati”. Bagi orang awam seperti kami, tentunya sangat aneh jika orang mempunyai “motivasi untuk mati” karena orang kebanyakan ingin tidak ingin mati. Orang  cenderung ingin bertahan hidup. Itulah sebabnya mereka menjaga kesehatan, berobat ketika sakit, dan mengupayakan kesembuhan walaupun tau sebenarnya harapan hidup sudah tipis sekalipun.

Sondang Hutagalung, seorang mahasiswa UBK yang juga aktivis pergerakan. Membakar diri di depan istana negara. Sempat bertahan beberapa hari sebelum akhirnya meninggal di rumah sakit akibat luka bakar serius. Motivasi di balik aksi bakar diri itu hanyalah Sondang sendiri yang tau secara pasti. Selamanya akan tersimpan di dalam hati Sondang. Ikut terkubur bersama jenazahnya. Pahlawan, tindakan bodoh, heroik, frustasi, pujian, cemooh, caci maki, kekaguman bercampur dalam silang pendapat orang-orang sepeninggalnya. Mereka berebut memberikan interpretasi atas tindakan mendiang Sondang. Satu yang kita ketahui, tidak banyak orang mampu melakukan tindakan seperti Sondang, apapun motivasinya. Sondang menjadi bahan pembicaraan yang “ngehits” selama beberapa pekan kemudian dilupakan.

Apa sih maksudnya Sondang? Mengapa dia memilih jalan kematian yang “tidak sewajarnya” bagi orang awam? Mungkin bagi yang berpikir agak mendalam akan menemukan pertanyaan itu di benaknya. Selebihnya orang sebenarnya tidak mempedulikan peristiwa itu. Kehidupan sehari-hari mungkin terlalu menyita perhatian orang-orang jaman sekarang sehingga sensitivitas dan empati menjadi barang yang langka.

Ingat saat Ruyati dihukum pancung di Arab Saudi?  Yah TKI yang dituduh telah membunuh sang majikan. Konon kabarnya Ruyati mempertahankan kehormatannya karena sang majikan akan memperkosanya. Nyawa sang majikan akhirnya berakhir pada sebilah pisau ditangan Ruyati. Opini publik segera terfokus pada kasus Ruyati. Menggalang dana untuk tebusan, melakukan monitoring, menggalang dukungan di dunia maya, berupaya melakukan pendampingan, dan lain lain. Ketika Ruyati akhirnya menjadi almarhum, orang-orang seolah terpukul. Sejenak bersedih, kemudian lupa lagi. Orang akan mudah bersimpati, meledak-ledak mengumbar emosi, lalu lupa lagi.

Pesta olahraga juga telah mengakhiri hidup Reno dan Kusmanto. Keduanya berniat menyaksikan dan memberi dukungan kepada Timnas U 23 pada Final Sea Games untuk cabang Sepakbola. Stadion Gelora Bung Karno yang besar itu tidak mampu menampung antusiasme para supporter timnas. Banyak mereka yang sudah mempunyai tiket tapi tidak bisa masuk. Mereka berebut saling dorong, dan naasnya Reno serta Kusmanto terjatuh, terinjak lautan manusia. Keduanya tewas. Sama seperti Sondang dan Ruyati. Reno sempat jadi “trending topic” di jejaring sosial dunia maya. Orang bersimpati. Mengharap adanya perbaikan. Sejenak, lalu lupa.

Apakah lupa itu kejam? Ataukah ini alamiah? Kodrat manusia untuk Lupa. Maka ajaran orang Jawa punya konsep “eling”. Ajaran agama Islam menganjurkan dzikir yang substansinya “mengingat” Tuhan. Eling maupun Dzikir adalah upaya melawan lupa. Mengapa dalam tulisan ini lupa juga dikaitkan dengan beberapa kasus kematian? Sebab menurut saya, memori pendek bangsa ini sudah keterlaluan. Mudah bersimpati namun mudah melupakan. Itulah yang perlu kita renungkan dan kita respon.

Orang Madura biasa menguburkan jenazah keluarganya yang tewas dalam carok di pekarangan rumah. Menyimpan baju yang digunakan korban carok meskipun berlumuran darah. Hal itu dilakukan untuk menyimpan memori bahwa peristiwa itu tidaklah boleh dilupakan. Karena mereka takut lupa.  Ketika Si Fulan meninggal, orang-orang yang masih hiduplah yang bisa memberikan interpretasi atas kematiannya. Orang boleh saja mati dengan berbagai cara. Dan ketika mati, putuslah sudah hubungan orang itu dengan dunia yang ditinggalkan.

Kini di sekitar kita orang dengan begitu mudahnya menjadikan peristiwa tragis sebagai bahan guyonan. Video pembantaian petani di Mesuji, Lampung dibicarakan dengan penuh tawa sembari menyeruput beberapa botol bir dan menghisap rokok di Sevel. Duduk santai dan rileks, seolah sedang membicarakan hobi menanam bonsai. Mereka mencaci maki, merasa prihatin, kemudian tertawa lepas, menenggak sebotol Bir lagi kemudian mabuk dan tidur nyenyak.  Kematian orang, apapun caranya, adalah kejadian alamiah. Mungkin begitu.

Menyinggung Demokrasi

 

Oleh: Pandu Yuhsina Adaba

Ketika Francis Fukuyama menulis artikel yang kemudian dikembangkan menjadi buku yang berjudul “The End Of History”, masyarakat politik terhenyak. Digambarkanya bahwa tujuan akhir dari peradaban adalah “masyarakat demokrasi liberal” (Fukuyama; 1989). Sejalan dengan Fukuyama, beberapa tahun kemudian muncul Huntington yang mengatakan bahwa fase bipolar antara kekuatan sosialis komunis dan kapitalis liberal telah berakhir. Kemenangan kubu Kapitalis Liberal adalah keniscayaan yang tidak dapat ditawar, dan pahamnya akan diamini oleh suatu tatanan dunia baru.

Tidak mau ketinggalan, semenjak bergulirnya reformasi, bangsa ini pun menjadi latah dengan istilah demokrasi. Segala hal harus “didemokratiskan”. Perkara makna apa yang ada di balik istilah itu, bisa jadi urusan belakangan. Demokrasi telah menjadi kata yang menyihir jutaan rakyat, maupun pejabat di negeri ini. Fenomena ini banyak dibaca orang melalui karya Samuel Huntington. Latah demokrasi ini merupakan bagian dari “Gelombang Demokratisasi Ke Tiga” yang melanda dunia. Ditandai dengan ambruknya rezim-rezim otoriter (dalam versi penulisnya), Huntington melihat secara optimis bahwa “gelombang” itu akan menyapu setiap belahan dunia. Tulisan tahun 1991 ini menjadi pegangan yang memotivasi optimisme banyak orang terhadap prospek demokrasi di Indonesia. Diajarkan di bangku-bangku kuliah Ilmu sosial politik. Banyak kaum intelektual yang mulai menganggap bahwa gelombang demokratisasi itu sebagai suatu kenisacayaan yang akan secara otomatis membawa kebahagiaan.

Istilah baru muncul sebagai primadona dalam wacana politik di Negeri ini. Good Governance, sebuah kata sakti bagaikan mantra penyembuh dari setiap penyakit pengelolaan pemerintahan. Istilah ini sebenarnya sudah muncul sejak tahun 1989, diperkenalkan pertama kali oleh Bank Dunia. Pada prinsipnya, Good Governance adalah sistem tatakelola pemerintahan yang sejalan dengan spirit demokrasi liberal. Didalamnya terdapat poin-poin penting yaitu: partisipasi masyarakat, supremasi hukum, transparansi, keterlibatan stakeholder, pencapaian dan pelaksanaan konsensus, kesetaraan, efektifitas dan efisiensi, akuntabilitas, dan Visi Strategis (Depdagri dlm Andita; 2009)

Sejalan dengan misi Good Governance, Rezim lalu menterjemahkannya dalam level kebijakan. Marilah kita lihat beberapa contohnya. Reformasi Birokrasi dilakukan sebagai respon poin efektifitas dan efisensi. Keterbukaan pasar merespon poin keterlibatan stakeholder. Tak ketinggalan sistem pemilihan langsung (PILPRES, PILKADA) digulirkan sebagai respon dari poin partisipasi masyarakat.

Kenyataan tidak selalu indah. Pemujaan terhadap demokrasi bukan suatu hal yang tanpa cela ketika borok-borok tentang hal itu mulai menganga. Istilah-istilah tertentu diciptakan ketika muncul residu-residu dari proses demokratisasi yang diyakini sedang berjalan itu. Beberapa contoh istilah itu semisal elite capture yang banyak dikemukakan Craig Johnson dan Daniel Strat. Pelaksanaan Demokrasi ditawan oleh para elit yang tak jarang mengeluarkan kebijakan untuk kepentingannya sendiri. Istilah-istilah ini terutama muncul di ranah kajian politik lokal. Kita mengenal istilah Bosisme Lokal (Local Bossism) yang dipopulerkan oleh John Sidel. Substansinya tidak jauh dari dari Elite capture. Dia adalah residu dari pelaksanaan demokrasi, terutama di ranah lokal. Vedi R Hadiz banyak menggunakan istilah Mafia Lokal, sedangkan Henk S Nordholt lebih suka memakai istilah “raja-raja kecil”. Suatu hal yang dapat kita tarik adalah jika semua menemukan residu dalam sistem yang sama, maka kita patut mengajukan pertanyaan: Benarkan penemuan itu betul-betul sekedar residu ataukah justru merupakan produk utama dari sistem itu sendiri?

Rita Abrahamsen dalam risetnya di Afrika Selatan melihat kecenderungan negara-negara yang mempunyai ketergantungan kepada bantuan keuangan internasional cenderung mengamini wacana Good Governance. Abrahamsen memperlihatkan bahwa lembaga-lembaga semacam IMF mampu memberikan paksaan kepada sebuah rezim untuk menuruti agenda-agenda yang diinginkannya. Hal ini tentu bisa dipahami mengingat Penerimaan Good Governance di suatu negara menjadi prasyarat pemberian bantuan dari lembaga penyedia keuangan internasional (Sofian Effendi; 2005). Bisa jadi inilah yang oleh Foucault disebut dengan “Kuasa Ilmu Pengetahuan”. Dengan meminjam konsep Foucault, Rita Abrahamsen sebenarnya sedang menunjukkan bahwa agenda Good Governance tak lain merupakan instrumen penguasaan dari negara-negara maju untuk menghegemoni negara-negara miskin.

Jafar M Sidik dengan mengutip Paul Collier mengatakan “Di banyak negara, berdemokrasi sering dipandang sebagai tren dan ini menciptakan latah yang akhirnya mereduksi  demokrasi menjadi prosedur, mekanisme dan pintu masuk untuk berkuasa belaka (Sidik; 2009)”. Yah, maka tidak perlu heran manakala muncul ketegangan-ketegangan antara hal yang substansi dengan yang sebatas prosedural. Di dalam sistem itu sendiri rupanya memang tersimpan hakikat kontradiksi. Kita perlu untuk berpikir ulang, dan tanpa perlu merasa takut untuk mencari alternatif lain selain demokrasi. Demokrasi tidak pernah menjamin bahwa sistemnya merupakan solusi mutlak. Yang menganggap demokrasi merupakan Solusi permanen tak lebih dari pendukung-pendukungnya. Yang berpikir bahwa Demokrasi adalah untuk Demokrasi itu sendiri. Kenyataanya, Demokrasi tak lebih merupakan alat untuk menuju kepada tujuan yang jauh lebih besar. Dalam Konteks Indonesia, tujuan itu telah ditetapkan di dalam Pancasila.